Inspeksi Mendadak (SIDAK) yang dilakukan Satuan Tugas (SATGAS) pemberantasan mafia hukum yang dibentuk oleh Presiden sebagai buntut dari rekomendasi Tim 8 di Rumah Tahanan Pondok Bambu pada hari senin, tanggal 11 Januari 2010 lalu menemukan kejadian yang mengejutkan walaupun sebenarnya itu sudah menjadi Rahasia Umum. Dalam Inspeksi Mendadak tersebut ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di dalam Rumah Tahanan tersebut yaitu yang paling menggemparkan adalah ditemukannya ruangan “super mewah” seperti fasilitas yang ada dalam hotel berbintang dan dihuni oleh salah satu wanita kaya raya yang mempunyai kekuatan luar biasa untuk mengatur penegak hukum kita sesuai keinginannya dan seorang “Ratu” narkoba yang divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan. Mereka adalah penjahat kelas kakap Artalita dan Aling.
Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan seharusnya menjadi momok yang menakutkan bagi seseorang untuk atau yang akan melakukan tindak kejahatan. Rumah tahanan atau Lembaga Permasyarakatan memliki andil yang besar bagi terwujudnya perdamaian dan ketentraman bagi rakyat dimana seseorang yang melakukan tindak kejahatan diharapkan jera dan sadar akan kesalahannya dan tidak akan melakukan tindakan tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, temuan Satgas pada Rumah Tahanan Pondok Bambu tersebut membuktikan semua yang dituduhkan selama ini kepada Lembaga Permasyarakatan kita. Dimana penjara yang identik dengan kengerian berubah menjadi tempat hunian eksklusif sekelas hotel berbintang 5. Mengapa demikian? Apa yang terjadi dengan penegak hukum kita? Dimana moral mereka sebagai penegak hukum?
Dalam kacamata hukum, penegakan hukum itu melandaskan pada prinsip-prinsip The Rule of Law, yaitu menempatkan semua orang/ tersangka/ terdakwa sama sederajat di depan hukum, menempatkan semua orang memiliki perlindungan yang sama di depan hukum, dan menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum. Prinsip-prinsip tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik di negara kita. Apabila dihubungkan dengan kasus ditemukannya ruangan super mewah untuk sekelas Lembaga Permasyarakatan atau rumah Tahanan, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip The Rule of Law. Seorang artalita yang notabene seorang terpidana seharusnya diperlakukan sama derajatnya dengan terpidana yang lain sesuai pinsip menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum. Penegak hukum kita dalam hal ini Kepala LP/ Rumah Tahanan, seharusnya tahu akan hal itu. Lagi-lagi sepertinya masalah uanglah yang menjadikan gelap mata dan gelap hati para penegak hukum kita. Kemudian kita lihat bahwa prinsip menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum tidak berjalan dalam penegakan hukum kita. Diberikannya ruangan super mewah menjadikan perlindungan hukum yang semua orang seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama menjadi timpang dimana uang dan kekuasaan masih menjadi kekuatan utama dalam melemahkan penegakan hukum kita. Kemudian yang terakhir adalah sesuai prinsip, dimana semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum. Namun, dengan adanya kasus tersebut artinya tidak semua orang diberikan keadilan yang sama di depan hukum. Artinya selama penegak hukum kita masih kalah dengan kekuatan politik yang kotor, uang dan kekuasaan maka cita-cita negara Indonesia tidak akan tercapai.
Perlu dipertanyakan kembali bagaimana komitmen dan integritas penegak hukum kita sebagai ujung tombak penegakan hukum di Indonesia.
Apa yang dilakukan Presiden SBY dalam membentuk Satgas pemberantasan mafia hukum merupakan langkah progresif dalam menegakkan supremacy hukum di indonesia. Bagaimana hasil kerja dari Satgas ini, apakah dapat memperbaiki penegakan hukum di Indonesia?? Patut kita tunggu
Hambatan Penegakan Hukum
Hikmahanto Juwana mengemukakan bahwa sulitnya penegakkan hukum di Indonesia sudah diawali dari pembuatan peraturan perundang-undangan ini sendiri dan paradigma penegakan hukum yang belum bergeser, yaitu :
1. Antar Peraturan Benturan
Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dilaksanakan dengan baik dan benar atau tidak. Pembuat peraturan perundang – undangan telah melakukan mengambil asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirinya dapat berjalan, tanpa melihat situasi dan kondisi kemampuan masyarakat. Sehingga timbul ungkapan peraturan atau perundang-undangan dibuat bukan untuk dipatuhi tetapi untuk dilanggar, kadang masyarakat merasa bangga apabila sudah mampu melanggar aturan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini sering terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan pesanan dari elit politik Negara Asing maupun lembaga keuangan Internasional. Disini peraturan perundang-undangan dianggap sebagai komoditas.
2. Masyarakat Pencari Kemenangan bukan Keadilan
Masyarakat Indonesia terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan proses hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhindar dari hukuman. Kenyataan ini mengindikasikan masyarakat di Indonesia sebagai masyarakat pencari kemenangan, bukan pencari keadilan sebagai kemenangan, tidak heran bila semua upaya akan dilakukan baik yang sah maupun yang tidak, semata-mata untuk mendapat kemenangan.
Masyarakat pencari kemenangan merupakan problem bagi penegakkan hukum, terutama bila aparat penegak hukum kurang berintegarsi dan rentan disuap, masyarakat pencari kemenangan akan memanfaatkan kekuasaan dan uang agar memperoleh kemenangan atau terhindar dari hukuman. Hukum tidak akan tegak selama masyarakat mencari kemenangan.
3. Penegakan Hukum sebagai komoditas Politik
Penegakan Hukum di Indonesia telah menjadi komoditas politik. Pada masa orde baru penegakkan hukum sebagai komoditas politik sangat merajalela. Penegakan hukum diatur karena kekuasaan menghendaki. Aparat penegak Hukum didikte oleh kekuasaan, bahkan diintervensi dalam menegakkan hukum.
Penegakkan hukum akan dilakukan secara tegas karena penguasa memerlukan Hukum yang sah untuk melawan kekuatan pro demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan rakyat. Tetapi penegakkan hukum akan dibuat melemah oleh kekuasaan bila pemerintah atau elite politik yang menjadi pesakitan.
4. Penegakkan Hukum yang Dipicu oleh Media Masa
Dalam beberapa tahun terakhir masalah penegakan hukum mendapat tempat tersendiri di berbagai media massa. Penegakan hukum yang diberitakan pun tidak yang umum-umum saja, melainkan penegakkan hukum yang melibatkan orang yang menjabat di Institusi hukum. Disadari atau tidak penegakkan hukum di Negara kita, belakangan ini telah memasuki situasi yang dipicu oleh pers. Penegakkan hukum yang disoroti pers tentu sangat positif karena penegakkan hukum akan secara serius dilakukan
sumber:
riyanislawyer.wordpress.com
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar